ShoutMix chat widget

Kamis, 30 September 2010

Continue Reading

0 komentar:

KOPERASI

Koperasi (Sirkah Ta’awuniyah) dalam Pandangan Islam
Sirkah berarti ikhtilath (percampuran). Para fuqaha mendefinisikan sebagai: Akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Definisi ini dari mazhab Hanafi.
Sebelum membahas tentang koperasi (sirkah ta’awuniyah), sirkah secara umum disyariatkan dengan Kitabullah, Sunnah dan Isjma’.
Di dalam Kitabullah, Allah berfirman yang artinya:
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga.”
(Q. S. 4: 12)
“Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh; dan amat sedikitlah mereka itu.”
(Q. S. 38: 24)
Di dalam As-Sunnah, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Allah SWT berfirman: “Aku ini Ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah seorang mereka tidak mengkhianati temannya. Apabila salah seorang telah berkhianat terhadap temannya Aku keluar dari antara mereka.”
(HR. Abu Daud dari Abu Hurairah)
Adapun para ulama telah berijma’ mengenai bolehnya berserikat (sirkah).
Lalu bagaimana dengan koperasi atau Sirkah Ta’awuniyah?
Dari segi etimologi kata “koperasi” berasal dan bahasa Inggris, yaitu cooperation yang artinya bekerja sama. Sedangkan dari segi terminologi, koperasi ialah suatu perkumpulan atau organisasi yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang bekerja sama dengan penuh kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar sukarela secara kekeluargaan.
Koperasi dari segi bidang usahanya ada yang hanya menjalankan satu bidang usaha saja, misalnya bidang konsumsi, bidang kiedit atau bidang produksi. Ini disebut koperasi berusaha tunggal (single purpose). Ada pula koperasi yang meluaskan usahanya dalam berbagai bidang, disebut koperasi serba usaha (multipurpose), misalnya pembelian dan penjualan.
Dari pengertian koperasi di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa yaag mendasari gagasan koperasi sesungguhnya adalah kerja sama, gotong-royong dan demokrasi ekonomi menuju kesejahteraan umum. Keja sama dan gotong-royong ini sekurang-kurangnya dilihat dari dua segi. Pertama, modal awal koperasi dikumpulkan dari semua anggota-anggotanya. Mengenai keanggotaan dalam koperasi berlaku asas satu anggota, satu suara. Karena itu besarnya modal yang dimiliki anggota, tidak menyebabkan anggota itu lebih tinggi kedudukannya dari anggota yang lebih kecil modalnya. Kedua, permodalan itu sendiri tidak merupakan satu-satunya ukuran dalam pembagian sisa hasil usaha. Modal dalam koperasi diberi bunga terbatas dalam jumlah yang sesuai dengan keputusan rapat anggota. Sisa hasil usaha koperasi sebagian Uesar dibagikan kepada anggota berdasarkan besar kecilnya peranan anggota dalam pemanfaatan jasa koperasi. Misalnya, dalam koperasi konsumsi, semakin banyak membeli, seorang
anggota akan mendapatkan semakin banyak keuntungan. Hal ini dimaksudkan untuk lebih merangsang peran anggota dalam perkoperasian itu. Karena itu dikatakan bahwa koperasi adalah perkumpulan orang, bukan perkumpulan modal. Sebagai badan usaha, koperasi tidak semata-mata mencari keuntungan akan tetapi lebih dari itu, koperasi bercita-cita memupuk kerja sama dan mempererat persaudaraan di antara sesama anggotanya.
Lalu bagaimana koperasi menurut pandangan Islam dan bagaimana pendapat para ulama mengenai koperasi? Di bawah ini akan dicoba mengulas masalah tersebut.
Sebagian ulama menganggap koperasi (Syirkah Ta’awuniyah) sebagai akad mudharabah, yakni suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih, di satu pihak menyediakan modal usaha, sedangkan pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing (membagi keuntungan) menurut perjanjian, dan di antara syarat sah mudharabah itu ialah menetapkan keuntungan setiap tahun dengan persentasi tetap, misalnya 1% setahun kepada salah satu pihak dari mudharabah tersebut. Karena itu, apabila koperasi
itu termasuk mudharabah atau qiradh, dengan ketentuan tersebut di atas (menetapkan persentase keuntungan tertentu kepada salah satu pihak dari mudharabah), maka akad mudharabah itu tidak sah (batal), dan seluruh keuntungan usaha jatuh kepada pemilik modal, sedangkan pelaksana usaha mendapat upah yang sepadan atau pantas.
Mahmud Syaltut tidak setuju dengan pendapat tersebut, sebab Syirkah Ta’awuniyah tidak mengandung unsur mudharabah yang dinimuskan oleh fuqaha. Sebab Syirkah Ta’awuniyah, modal usahanya adalah dari sejumlah anggota pemegang saham, dan usaha koperasi itu dikelola oleh pengurus dan karyawan yang dibayar oleh koperasi menurut kedudukan dan fungsinya masing-masmg. Kalau pemegang saham turut mengelola usaha koperasi itu, maka ia berhak mendapat gaji sesuai dengan sistem penggajian yang balaku. Menurut Muhammad Syaltut, koperasi merupakan syirkah baru yang diciptakan oleh para ahli ekonomi yang dimungkinkan banyak sekali manfaatnya, yaitu membari keuntungan kepada para anggota pemilik saham, membori lapangan kerja kepada para karyawannya, memberi bantuan keuangan dan sebagian hasil koperasi untuk mendirikan tempat ibadah, sekolah dan sebagainya.
Dengan demikian jelas, bahwa dalam koperasi ini tidak ada unsur kezaliman dan pemerasan (eksploitasi oleh manusia yang kuat/kaya atas manusia yang lemah/miskin). Pengelolaannya demokratis dan terbuka (open management) serta membagi keuntungan dan kerugian kepada para anggota menurut ketentuan yang berlaku yang telah diketahui oleh seluruh anggota pemegang saham. Oleh sebab itu koperasi itu dapat dibenarkan oleh Islam.
Menurut Sayyid Sabiq, Syirkah itu ada empat macam, yaitu:
1. Syirkah ‘Inan
Syirkah ‘Inan, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk melakukan suatu usaha bersama dengan cara membagi untung atau rugi sesuai dengan jumlah modal masing-masing.
2. Syirkah Mufawadhah
Syirkah Mufawadhah, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha dengan persyaratan sebagai benkut:
a. Modalnya harus sama banyak. Bila ada di antara anggota persyarikatan modalnya lebih besar, maka syirkah itu tidak sah.
b. Mempunyai wewenang untuk bertindak, yang ada kaitannya dengan hukum. Dengan demikian, anak-anak yang belum dewasa belum bisa menjadi anggota persyarikatan.
c. Satu agama, sesama muslim. Tidak sah bersyarikat dengan non muslim.
d. Masing-masing anggota mempunyai hak untuk bertindak atas nama syirkah (kerja sama).
3. Syirkah Wujuh
Syirkah Wujuh, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal, tetapi hanya modal
kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama mereka.
4. Syirkah Abdan
Syirkah Abdan, yaitu karja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha atau pekerjaan. Hasilnya dibagi antara sesama mereka berdasarkan perjanjian seperti pemborong bangunan, instalasi listrik dan lainnya.
Mazhab Hanafiah menyetujui (membolehkan) keempat macam Syirkah tersebut.
Sementara mazhab Syafi’iah melarang Syirkah Abdan, Mufawadhah, Wujuh dan membolehkan Syirkah Inan. Tiga macam dilarang dan hanya satu macam saja yang dibolehkan.
Mazhab Malikiah membolehkan Syirkah Abdan, Syirkah ‘Inan, dan Syirkah Mufawadhah dan melarang Syirkah Wujuh.
Mazhab Hanabilah membolehkan Syirkah ‘Inan, Wujuh dan Abdan, dan melarang Syirkah Mufawadhah.
Selain Imam Mujtahid yang empat itu, masih ada lagi pendapat ulama-ulama lainnya sebagaimana terlihat pada uraian berikutnya.
Mengenai status hukum berkoperasi bagi urnmat Islam juga didasarkan pada kenyataan, bahwa koperasi merupakan lembaga ekonomi yang dibangun oleh pemikiran barat, terlepas dari ajaran dan kultur Islam. Artinya, bahwa Al-Quran dan hadis tidak menyebutkan, dan tidak pula dilakukan orang pada zaman Nabi. Kehadirannya di beberapa negara Islam mengundang para ahli untuk menyoroti kedudukan hukumnya dalam Islam.
Khalid Abdurrahman Ahmad, panulis Al-Tafkir Al-Iqrishadi Fi Al-Islam (pemikiran-pemikiran ekonomi Islam), Penulis Timur Tengah ini berpendapat, haram bagi ummat Islam berkoperasi. Sebagai konsekuensinya, penulis ini juga mengharamkan harta yang diperoleh dari koperasi. Argumentasinya dalam mengharamkan koperasi, ialah pertama disebabkan karena prinsip-prinsip keorganisasian yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan syariah. Di antara yang dipersoalkan adalah persyaratan anggota yang harus terdiri dari satu jenis golongan saja yang dianggap akan membentuk kelompok-kelompok yang eksklusif. Argumen kedua adalah mengenai ketentuan-ketentuan pembagian keuntungan. Koperasi mengenal pembagian keuntungan yang dilihat dari segi pembelian atau penjualan anggota di koperasinya. Cara ini dianggap menyimpang dari ajaran Islam, karena menurut bentuk kerja sama dalam Islam hanya mengenal pembagian keuntungan atas dasar modal, atas dasar jerih payah atau atas dasar keduanya. Argumen selanjutnya adalah didasarkan pada penilaiannya mengenai tujuan utama pembentukan koperasi dengan persyaratan anggota dan golongan ekonomi lemah yang dianggapnya hanya bermaksud untuk menenteramkan mereka dan membatasi keinginannya serta untuk mempermainkan mereka dengan ucapan-ucapan atau teori-teori yang utopis (angan-angan/khayalan).
Pendapat tersebut belum menjadi kesepakatan/ijma para ulama. Sebagai bagian bahasan yang bermaksud membuka spektrum hukum berkoporasi, maka selain melihat segi-segi etis hukum
berkoperasi dapat dipertimbangkan dari kaidah penetapan hukum, ushul al-fiqh yang lain. Telah diketahui bahwa hukum Islam mengizinkan kepentingan masyarakat atau kesejahleraan bersama melalui prinsip ishtishlah atau al-maslahah. Ini berarti bahwa ekonomi Islam harus memberi prioritas pada kesejahleraan rakyat bersama yang merupakan kepentingan masyarakat. Dengan menyoroti fungsi koperasi di antaranya:
1. Sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat dan
2. Alat pendemokrasian ekonomi nasional.
Dengan demikian bahwa prinsip ishtishlah dipenuhi di sini dipenuhi oleh koperasi.
Demikian juga halnya, jika dilihat dari prinsip istihsan (metode preferensi). Menyoroti koperasi menurut metode ini paling tidak dapat dilihat pada tingkat makro maupun mikro. Tingkat makro berarti mempertimbangkan koperasi sebagai sistem ekonomi yang lebih dekat dengan Islam dibanding kapitalisme dan sosialisme. Pada tingkat mikro berarti dengan melihat terpenuhi prinsip
hubungan sosial secara saling menyukai yang dicerninkan pada prinsip keanggotaan terbuka dan sukarela, prinsip mementingkan pelayanan anggota dan prinsip solidaritas.
Dengan pendekatan kaidah ishtishlah dan istihsan di atas, ada kecenderungan dibolehkannya kegiatan koperasi. Juga telah disebutkan banyak segi-segi falsafah, etis dan manajerial yang menunjukkan keselarasan, kesesuaiandan kebaikan koperasi dalam pandangan Islam. Secara keseluruhan hal ini telah memberi jalan ke arah istimbath hukum terhadap koperasi. Hasil istimbath ini tidak sampai kepada wajib, juga tidak sampai kepada haram, sebagaimana dikemukakan oleh Khalid Abdurrahman Ahmad.
Jika demikian halnya, lantas bagaimana hukum berkoperasi? Kembali pada sifat koperasi sebagai praktek mu’amalah, maka dapat ditetapkan hukum koperasi adalah sesuai dengan ciri dan sifat-sifat koperasi itu sendiri dalam menjalankan roda kegiatannya. Karena dalam kenyataannya, koperasi itu berbeda-beda substansi model pergerakannya. Misalnya koperasi simpan pinjam berbeda dengan koperasi yang bergerak dalam bidang usaha perdagangan dan jasa lainnya. Koperasi simpan pinjam bahkan banyak yang lebih tinggi bunga yang ditetapkannya bagi para peminjam daripada bunga yang ditetapkan oleh bank-bank konvensional. Tentunya hal seperti ini tidak diragukan lagi adalah termasuk riba yang diharamkan. Adapun koperasi semacam kumpulan orang yang mengusahakan modal bersama untuk suatu usaha perdagangan atau jasa yang dikelola bersama dan hasil keuntungan dibagi bersama, selagi perdagangan atau jasa itu layak dan tidak berlebihan di dalam mengambil keuntungan, maka dibolehkan, apalagi jika keberadaan koperasi itu memudahkan dan meringankan bagi kepentingan masyarakat yang bersangkutan.
Terakhir kami ingatkan kembali sebuah firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh; dan amat sedikitlah mereka itu.”
(Q. S. 38: 24)
Wallohu a’lam.
Daftar pustaka:
1. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid 13.
2. Al-Fatawa, Muhammad Syalthut.
3. Islam dan Koperasi, Ahmad Dimyadhi dan kawan-kawan.
4. Deskripsi Ekonomi Islam, Monzer Kahf.
Sumber: Diadaptasi dari “Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan”, M. Ali. Hasan
Continue Reading

0 komentar:

SYIRKAH


Tulisan ini di persembahkan khusus untuk ade iparku Farida yang sedang dapat tugas dari kampus, hehehe.. Jangan tertawa yach..

langsung saja dah:...

Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).

Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].

Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:

1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2. Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).
Macam-Macam Syirkah

Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:

(1) syirkah inân;

(2) syirkah abdan;

(3) syirkah mudhârabah;

(4) syirkah wujûh; dan

(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148).

An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).

Syirkah Inân

Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).

Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).

Syirkah ‘Abdan

Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].

Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).

Syirkah Mudhârabah

Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).

Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).

Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.

Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).

Syirkah Wujûh

Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).

Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).

Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).

Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).

Syirkah Mufâwadhah

Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).

Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).

Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

Sumber :

Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005
Continue Reading

0 komentar: